Monday 27 December 2010

okey now, the topic is.. marry me or nothing. Antara FITRAH Anugerah & FITRAH fitnah.

Bismillahirrahmanirrahim...

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

So here it goes~ after all the 'explainations' i heard from u, while i was acting cowardly silent (astaghfirullah) coz i wanted to hear ur 'ilmu' itu.. (= now,alhamdulillah..fahamlh sdikit tntang pandanganmu itu.. Astaghfirullahal 'aziim~ YA Allah, ampunilah dosa2 hamba dan juga dosa2 org yg berkenaan itu..Amiin.

Adalah perkara biasa kalau kita suka satu benda tu..kita tetap akan cari alasan untuk 'membenarkan' pendapat kita..

FITRAH YANG MENJADI FITNAH 

cinta JAHILLIYAH,

yess, Rindu, perasaan kasih syang, cinta.. memang fitrah. Jiwa manusia memerlukan cinta sepertimana badan memerlukan makanan. Tapi dalam Islam, perasaan itu perlu dikawal dan ada batasnya. Pergaulan perlu dijaga. Allah firman dalam surah Al-Isra', surah ke 17, dalam ayat yg ke 32:
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk."

 ALLAH tidak kurniakan cinta secara  begitu saja. Dia juga pencipta peraturan cinta demi menjaga kemurniaannya. Peraturan inilah yang kerap dilanggar.
Rasa cinta tidak salah tetapi kesalahan selalu berlaku sewaktu menjalin hubungan cinta. Di sinilah selalunya remaja terjebak kepada kesalahan yang terlarang. Cinta terlarang adalah cinta yang menafikan peraturan yang telah ditetapkan oleh ALLAH swt. Ketika itulah FITRAH telah menjadi FITNAH. Bila kehendak semulajadi tidak disalurkan atau diisi mengikut peraturan maka akan berlakulah kekalutan dan kemusnahan. 

Mengapakah perlu ada peraturan cinta? 
Jawabnya kerana ALLAH swt mencintai manusia hambaNYA. Allah inginkan keselamatan dan kesejahteraan buat manusia melaksanakan keinginan fitrah semulajadinya. Keinginan tanpa peraturan akan menyebabkan banyak kemusnahan.

 *****

Allah mmberikan kita fitrah itu lalu niatkanlah dgn fitrah itu boleh mnghampiri kita kepada Allah swt. Cintailah sesiapa pun, tetapi pastikan cinta itu dpt memudahkan kita mncintai Allah. jdi, bgaimana caranya? :)

iringilah dgn niat untuk berkahwin krana berkahwin itu lbih memudahkan seorang lelaki atau seorang perempuan  itu menyempurnakan agamanya. Sabda Rasulullah - " Apabila seorang berkahwin, sempurnalah separuh agamanya, tinggal lgi separuh untuk disempurnakannya" ketika itulah FITRAH akan menjadi ANUGERAH!

After all, my relationship with Allah isn't anywhere close to perfection. So, might as well just focus in obtaining His pleasure. Life's all about trying to get His pleasure. Because we believe in the Hereafter, where only the ones He wishes good upon will be given the ticket to Heaven. So, while I still can, I should try to obtain that ticket than to WASTE my time trying to figure who I'll end up with by testing out a number of boys. If he's the man, then he's the man. And I'll figure that man out after I marry him. If He lets it be, than it is He who will take care of it, as always. As the saying goes, if He puts you in it, He'll pull you through it :))

Rasulullah SAW memulakan dakwahnya dengan cinta, mendokong dakwahnya berbekalkan cinta dan meninggalkan dunia ini dengan mewariskan cinta. Cinta baginda kepada Allah Ar Rahman sehingga seluruh kehidupan ini hanya untukNya. Cinta itulah yang telah memuliakan generasi pertama yang selama ini hidup dalam kebencian, teraba-raba dalam kegelapan lalu jatuh ke lembah nista dan hina.
   
Biarlah aku diperli, diejek, asalkn niat kerana Allah, tiada apa yg layak diambil kira :)
Mengapa kamu suruh orang lain
(mengerjakan) kebajikan, sedang kamu
melupakan diri (kewajiban) mu sendiri,
padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)?
Maka tidakkah kamu berfikir?

(Al-Baqarah, ayat 44)

Dan janganlah kamu campur adukkan yang
hak dengan yang batil dan janganlah kamu
sembunyikan yang hak itu, sedang kamu
mengetahui.

(Al-Baqarah ayat 42)

Wahai yg berkenaan,
bukankah kamu mengagungkan perempuan seperti Saidatina Khadijah, Saidatina Fatimah Az-zahra? bukankah kmu mngatakan bahawa kmu mencintai Rasulullah dan sunnahnya?  Para-para sahabat & juga sahabiah.. pernahkah dlm sejarah mengatakan mereka-mereka ini bercinta sebelum bernikah? Mencontohi sunnah rasulullah itu, 'extremist' kah bgimu?? bukankah kmu org yg mahu mencontohi sifat2 Rasulullah? knapa begini? knapa sanggup memutar-belitkan fikiran ana? 

 Dan (juga) kaum Ad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu (kehancuran mereka) dari (puing-puing) tempat tinggal mereka. Dan setan menjadikan mereka memandang baik
perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam.

(Surah Al-Anakabut,Surah 29, ayat 38)

Dlm ayat ini, Sebenarnya syaitan telah buat kita pandang indah benda buruk yang kita lakukan. Walaupun nta berpandangan tajam, maksudnya nta berilmu tinggi. Memang pada mulanya niat nta baik, tapi ingat, syaitan itu sangat licik. Dia akan sedaya upaya buat kita terjerumus ke dalam kemaksiatan.

Rasulullah bersabda, mata boleh berzina dgn melihat, lidah boleh berzina dengan bercakap, tangan boleh berzina dengan berpegangan. Kaki boleh berzina dengan berjalan ke arah tempat maksiat. Hati pula boleh berzina dgn merindui, mengingati dan membayangi si dia.

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Al Baqarah : 216)

Allah 'alam. 

May peace and Allah's love and barakah be upon you.

Tuesday 21 December 2010

Participating in Muslim youth Programme XD


Bismillahirrahmanirrahiim..

Salam~ Alhamdulillah..There are lots of activities going on since the start of the semester break, Ya rabb, please make my holidays blessed and benificial, amiin. May all the work we do should ideally be for the sake of Allah..inshaAllah~

Islam was never meant to be an individualistic faith, reserved for the "chosen few". Muslims have a duty to spread the Deen, and practicing Muslim youth, whether beginners, activists or leaders, have a crucial role to play.

Talking abt the programme, It was a definitely YES YES AND YES when someone asked me to join hehe . Anyhoo, The programme will start tomorrow at 5pm sharp for registration ,inshaAllah with a very tight schedule~ (I like!!) xD, im interested in this programme just because it includes the task of bringing someone closer to Allah such as Practicing islam more regularly with friends via talks, reciting Quran with ustadzah,interact,helping the elders, staying healthy and all that which im looking foward to =) Bi iznillah.

Expect the unexpected. Hope this will improve the 'teen culture' of the muslim youth nowadays~inshaAllah..Amiin ^^,

Jihad An- nafs - striving against the SOUL

 Remember : Knowing that u can, deciding u wont.  Fighting nafsu is the BIGGEST JIHAD of all ~ this desires wont stop until u stop breathing..

I Want to Fight My Soul, so What is the Way?

All Praise is due to Allah the Rabb of all the Worlds and prayers and peace upon the best creation of Allah.

To proceed:

We hear many complaints from the people. Most of their complaints are related to their souls, which command them what is evil. They also complain about the evil of their actions. One of them says:

Indeed I have been put to trial with four, they did not afflict me
Except due to my misfortune and wretchedness
Iblîs, the world, the soul and the desire
How will this end when they are my enemies, all of them
 
So we find some of them saying ‘I have tried many times, repeatedly, to turn my soul away from committing these specific acts of disobedience but my efforts have failed.’

Another one says: ‘I tried to get my soul to perform acts of obedience (to Allâh), good and righteous deeds but I am not able to remain firm upon them, I leave them so quickly.’

And we hear a third one say: ‘I have repented from many evil actions and promised myself that I would not commit them again. However after the passing of time and being occupied much it did not take long before I returned to them. In fact I fell into others and increased in them.’

If we were to look at the condition of these people we would realise that among the reasons for their not being able to dominate and control their souls and not being able to remain firm upon what they have promised themselves is their lack of striving against their souls. In fact they have left the fetters and reins for the soul so that it leads them and plays with them however it wills. The soul is such that if it is not fought against and controlled it commands its possessor to commit evil and obscene deeds. These people, because they have not fought against their souls and controlled them in that which Allâh loves and is pleased with, are not able to remain constant in their (good) actions. For this reason it is necessary for them to control their souls for Allâh's pleasure and His obedience. Not that it should control them and as a result destroy them
It is vital that a person launches a war against his soul. One which is not haphazard or aimless but rather a firm and determined one in which he uses the weapons of faith (îmân), sincerity to Allâh (ikhlâs), patience (sabr) and supplication (du‘â). He uses them until he is able to overcome this mischievous enemy which is concealed between the two sides of his body [the soul, which commands the evil]. As a result he tames and pacifies it and makes it obedient, humble and submissive to the command of Allâh.
For this reason we find that Ibn al-Qayyim (rh) says: ‘Since the jihâd against the enemies of Allâh outwardly (i.e. physically) is a branch of the jihâd of the servant against his own soul for the sake of Allâh...’
The jihâd that is greater and mightier than the jihâd against the disbelievers and pagans is the jihâd of a person against his own soul for the sake of Allâh, just as the Messenger of Allâh said: “The Mujâhid is the one who struggles against his own soul in Allâh’s obedience.” [Tirmidhî who said it was Hasan Sahîh and Al-Albânî said: ‘Its isnâd is good’]
And when a person is not able to struggle against his own soul and overcome it in that which Allâh loves, he will not be able to fight against the external enemy, nor overcome it. How can he, when he is defeated and weak, both mentally and spiritually, and cannot even gain control of his own feeble soul?
Before entering into the discussion of how to fight against the soul it is necessary to mention a little section about the soul and its nature. Then we shall mention the cure for the soul and the way to purify it from its desires and lusts, if Allâh wills.

The Reality of the Soul

The soul continuously calls its owner to transgression, preference of the world, the desires and love of the delights and pleasures. But Allâh calls His servant to fear of Him, awe of Him and forbids the soul from its whim. He has prepared a mighty reward for the one who follows His command. The Exalted said:
And as for the one fears the standing in front of His Lord and restrains the soul from impure evil desires and lusts, verily, Paradise will be his abode. [Sûrah Nâzi‘ât 79:40-41]
The soul in its essence calls and commands the evil. Allâh the Exalted said:
Verily the (human) self is inclined to evil, except when my Lord bestows His Mercy (upon whomsoever He wills). Verily, my Lord is Oft-Forgiving, Most-Merciful. [Sûrah Yûsuf 12:53]
The soul was originally created ignorant and given to transgression. Knowledge, guidance and righteousness are things that befall it due to inspiration from its Lord and then by the struggle against it by its owner and his nurturing it and engaging it in jihâd. Allâh the Exalted says:
And those who strive in Our way We shall guide them to our paths and verily Allâh is with the doers of good (muhsinûn). [Sûrah Ankabût 29:69]
Allâh Azzawajall guaranteed the one whom He found trying and striving (against his soul) that He will be with him, will help him and will bring into reality his wish or desire (of domination over his soul). What then can a man desire after that?
And Ibn al-Qayyim (rh) said: “The travellers to Allâh, in all their different paths and diversity of their ways are agreed that the soul is a barrier between the heart and Allâh and that it (the heart) will not come close to Him, the Sublime, or arrive to Him except after killing his soul, abandoning it by opposing it and being victorious over it”
For this reason, it is obligatory upon us to fight and strive against it in order to travel (by this striving) in the straight path and to the clear success which Allâh Azzawajall has prescribed for us and which the best of the creation of Allâh, Muhammad has explained to us.
Know that striving against the soul does not occur except by four ways. Whoever follows them and applies them to his soul will have fought against it and protected it with the help of Allâh. Ibn al-Qayyim (rh) has mentioned these ways and they are as follows:
Firstly: By holding the soul to account
Secondly: By opposing it and not following its whims and desires
Thirdly: By making it patient in Allâh’s obedience
Fourthly: By making it patient in refraining Allâh’s disobedience

The First Way: Holding the Soul to Account

The destruction of the soul and the heart and their corruption is due to the neglect of calling the soul to account. There are very few amongst Allâh’s servants whom you will find calling their souls to account. One will ask it constantly: What did I intend with that word of mine, or that advice I gave, or when I called unto Allâh or when I commanded the good and forbade the evil (on a particular occasion)? Was that word which my tongue engaged upon and which my mouth uttered a word sincerely for Allâh? Did I desire the Face of Allâh with it? Or did I desire a portion of the world with it? What did I desire with that action, whether it was prayer, charity, fasting or putting and end to a certain evil? What did I hope for from it and what was the desire behind it? Did I hope for reward from Allâh for it and His pleasure, or was my hope for reward and praise from Allâh’s creation, showing off and seeking to be heard of?
In such a way does he question his soul and hold it to account for every word, movement and moment of rest. What did I hope for from it? And what did I desire by it?
May Allâh show mercy to Al-Hasan al-Basrî who said: “You will not find a believer except that he is (constantly) holding his soul to account. What did I intend with that word of mine? What did I intend with my food? What did I intend with my drink?”
Imâm Ahmad wrote: “The intelligent person is the one who controls his own soul (calls it to account) and acts (in preparation) for what comes after death...”, and what is after death? After death is the barzakh. After death there is accountability and punishment. After death are the Scales (upon which the deeds are weighed) and the Sirât (the bridge over Hellfire) and then it is either Paradise or Hellfire. So what have we prepared for what comes after death?! “...and the incapable person is the one who makes his soul follow its whim and has many expectations from Allâh.”
Such a person is the one who says ‘Allâh will forgive me, Allâh will show mercy upon me’, he covets all these things from Allâh and yet he does not perform the righteous actions and falls into many sins and acts of disobedience. Righteous actions are one of the means of entering Paradise. It is not sufficient for someone to have expectations (from Allâh) without making some effort and sacrifice and striving with his soul to perform righteous actions. Allâh Azzawajall frequently links îmân with righteous actions and it is also one of the ways of entering into Paradise. We ask Allâh to grant us His Gardens.
Umar ibn al-Khattâb said: “Call your souls to account before you are called to account and weigh your souls (i.e. your actions) before you are weighed for it will make the accountability easier for you tomorrow if you call your selves to account today” [Reported by Ahmad in his Musnad]
Mâlik ibn Dînâr (rh) said: “May Allâh show mercy to a servant who said :’Are you not the perpetrator of this action? Are you not the perpetrator of that action? Then he rebukes it, strikes it and confines it to the Book of Allâh and is becomes its master and guide.’”
How many souls are their who control and lead their owners into the darkness and then into destruction and refuge is sought from Allâh! Let a person therefore, be the leader, the commander and the forbidder of his soul and not the soul of him.
And Al-Hasan (rh) said: “A believer is a guardian over his soul. He calls his soul to account for the sake of Allâh. The reckoning on the Day of Judgement will be light upon a people who call themselves to account in the world and the reckoning on the Day of Judgement will be hard on a people who take this matter lightly.”
And Ibn Kathîr (rh) said: “The believer (constantly) returns to his soul (holding it to account) so he says: ‘What did I intend by this action?! What is for me and what is for it?! By Allâh I shall never return to it.’ If it is an act of disobedience for example, it is a way of guarding his soul. He asks it constantly and calls it to account with an intense and hard reckoning in this world so that the reckoning on the Day of Judgement is easy.”

How Do I Call Myself to Account?

Holding oneself to account is of two types: One before the action and the other after the action.
The First Type: It is necessary for the one who calls himself to account before he engages upon saying something particular or a particular action or any action for that matter, that he stops and looks with clear insight, not with his whim or desire, at this action. Is this action in itself good for him, will he acquire recompense and reward for it from Allâh? Or is this action disobedience which will lead to earning evil and increasing ones burdens?
If he sees that this action is good and there is benefit in it for his religion, his life and the Hereafter he then moves onto another matter.
And this is to see whether Allâh’s Face, His pleasure and the home of the Hereafter is desired by this action or is it merely for showing off, fame and seeking to be heard of? If he had desired Allâh’s Face by it then he should proceed with this action, whilst relying upon Allâh and seeking help from Him.
When he has finished from his action it is still necessary for him to call himself to account after he has acted. This enables him to see whether he made it sincerely and purely for Allâh or whether he was deceived (into thinking that it was) and satisfied with just merely performing the action, perhaps due to the praise of people. Then he forgets his initial desire and intention which was seeking the Face of Allâh. Was it better for him to perform that action or to fall short in executing it and abandoning it?
For this reason we find that the Prophet has strongly encouraged us to be quiet if we do not find any good and useful words to speak. He said: “Whoever believes in Allâh and the Last Day let him speak good or remain silent.” [Reported by Bukhârî and Muslim] Imâm an-Nawawî said: “When a person desires to speak, if there is definite goodness in his words for which he will be rewarded then let him speak and if it does not appear to him that there will be good in his words and that he will be rewarded then he should refrain from speaking.”
When a servant is strict and hard upon himself in such a way he will travel upon the path of goodness and success as a result of it. However, if he abandons his soul and neglects it he will be lead to the path of destruction and ruin by it, and into committing sins very easily without having the desire to seek forgiveness and repent from them.

The Second Type: Calling the soul to account after the action has been completed. This itself is of three types:

The first: A person brings the soul to account for an act of obedience which was performed and which fell short in fulfilling Allâh’s right. This means that it was not performed in the best possible way. The right of Allâh upon the servant in every act of obedience consists of six matters:
1. Sincerity in the action (for the sake of Allâh alone),
2. Pure devotion to Allâh in it,
3. Following and imitating the Messenger in it,
4. Seeing and observing excellence in it
5. Seeing Allâh’s Benevolence in it
6. Seeing one’s shortcomings (in performing this action) after all of this.
So a person will call himself to account. Has he considered all these things with care and attention, the way they ought to be? And did he fulfil them all in this action?
The second: A person calls himself to account for every action that he did, the abandonment of which would have been better for him than actually doing it.
The third: A person calls himself to account for a matter that is mubâh (permissible - with no reward or punishment resulting from it). Why did he do it? And did he desire the Face of Allâh and the home of the Hereafter by it so that he will have profited and succeeded? Or did he desire by it, the world and its temporary rewards and delights as a result of which he loses that success
A person will call himself to account so that one day when he is sixty years old he will be counting his days and will find that they are twenty-one thousand and six-hundred in number. He lets out a scream and says: “Woe be to me, I will meet my Lord with twenty-one thousand sins.
How will it be when there are thousands of sins in a day?!” Then he falls to the ground unconscious, and dies.
Let us therefore, look at the strictness and intensity of the way he called himself to account and the way in which he saw his sins to be against him. What then, will our condition be?!
One amongst the Salaf would choose a certain time, late at night, to call his soul to account. He would ask himself about the obligatory duties first and if he found any deficiency in them, he would complete them, either by fulfilling them or by making up for them.
Then he would call his soul to account with respect to the forbidden matters since he did something which the Sharee‘ah has forbidden or which the Prophet () warned against. So he would make up for it by seeking forgiveness from Allâh and then being remorseful and repenting from it.
Then he would hold his soul to account for its heedlessness. If he had been heedless of what he had been created for he would make up for it with the remembrance of Allâh, directing his attention towards Him and performing His worship. If he had been heedless with respect to a certain sin and went on to commit it, he would return to Allâh, seeking forgiveness from Him, repenting to Him.
He then goes on to call himself to account about what he said and uttered on a certain day, or to what his feet walked towards or what his hands grasped or what his eyes saw or what his ears heard and so on. He would therefore, see whether his action was in agreement with what Allâh is pleased with and whether he desired Allâh with his action and made it sincerely and purely for Him. Or did a blemish or impurity mix with his action such as showing off or seeking to be heard of, or opposing the command of Allâh (in the way that he performed his action).
Therefore, he throws against every one of his actions or his words two questions: For whom did I do it?! Was it for Allâh or other than Him? This a question about sincerity to Allâh. The other question: How did I do it?! Was it in agreement with the Book of Allâh and the Sunnah? Was it in agreement with the Sharî‘ah or did it oppose and contradict the Sharî‘ah (this is a question about following and imitating the way of the Messenger of Allâh .

There are Great Benefits in Calling the Soul to Account

Amongst them are:
1. Realising the shortcomings and weaknesses of the soul. Whoever does not know the weaknesses of his soul will not be able to put an end to them.
We can observe this quality in our Pious Predecessors. Due to the intensity with which they called their souls to account, they knew all their shortcomings and faults. Yûnus bin Ubaid said: “Indeed, I know of a hundred characteristics from among the characteristics of goodness and I do not know whether I possess a single one of them.” Therefore, we find him to be the most knowledgeable of people of his own self. He knows what his soul is in need of and what it hopes for and other such matters.
And Muhammad bin Wâsi‘ said: “If sins were to produce a smell, no one would be able to sit next to me”
2. Knowing the right of Allâh upon oneself. This will instill in the servant hatred of his own soul and its contempt. It will purify him from being amazed with his actions and also from showing off. Ibn al-Qayyim said: “Verily, hatred of the soul for the sake of Allâh is one of the characteristics of the Siddîqûn (the truthful and the sincere).”
Imâm Ahmad has mentioned in his book az-Zuhd that Wahb (ibn Munabbah) said: “It has reached me that the Prophet of Allâh, Mûsâ, passed by a man who was calling upon Allâh and was humbling himself. He (Mûsâ) said: O my Lord, show mercy to Him as I have shown mercy to Him. Then Allâh inspired to him: If he calls upon me until his...... I would not respond to Him until He looks at My right over Him.”
Looking at the right of Allâh opens the door towards submission, humility and defeat in front of Allâh. The one who reflects about the condition of the people nowadays will find that most of them do the opposite of this. They look at their own rights upon Allâh, at their needs from Him but do not look at the right of Allâh upon themselves.
We will find one of them when he is inflicted with a calamity or misfortune on account of what his own hands have committed, angry, irritated and grumbling. He does not even ask his ownself: What is the cause of this misfortune, this calamity? And he is not aware that it is due to his sins and his disobedience to Allâh.
Likewise we find that many amongst mankind have been cut off from Allâh and their hearts have been veiled from knowing Him. To Allâh then, is the complaint and there is no power nor movement except by Allâh.

The Second Way: Struggling Against the Soul by Opposing it and not Following its Desires

Ibn Taymiyyah (rh) says: “And this is by not following its desires and opposing what the soul desires. Opposing the soul occurs by opposing its desires and its desires do not arise except by following Shaytân. Therefore it is vital to oppose Shaytân and seeking refuge in and recoursing to Allâh from his whisperings and his plans. Shaytân enters upon the soul and penetrates into it with two matters or from two doors. It is necessary for us to know them, oppose them and to close them tight in the face of Shaytân the Accursed and Rejected:
The First: Due to excessiveness and squandering. This happens by giving ones soul whatever it desires of food, speech, sleep and other such matters which the soul makes its owner aspire for, what it cannot do without and what it loves. Therefore it is incumbent upon a person that he does not give his soul its need and desire in its entirety. He should not be extravagant and excessive in giving it food, sleep and other such delights and pleasures. When he shuts this door, against his own soul and against Shaytân he will acquire peace and security.
Thus, we will find that a person has been forbidden from excessive food and speech, letting the gaze wander too much, mixing with people and accompanying them in excess since giving the soul whatever it desires is among the things which if done excessively and continuously hardens to heart and makes it heedless. This leads to the hearts death and refuge is sought from Allâh! Thus, the door of fasting has been opened and we have been urged to fast. Even voluntary fasting has been strongly encouraged. Fasting puts an end to the desire and excessive eating. Thus Islam has encouraged fasting and made it beloved to its adherents.
Likewise, there is an excellence attached to the night prayer (tahajjud). It prevents a person from excessive sleep. A person will strive against his soul and wage war against it in order to pray during the night and fast during the day. He will continue in this until his soul submits and humbles itself to these acts of worship. The soul will then find the joy and delight of fasting and praying at night.
It is also, from the wisdom of Islâm that urges the Muslim to be silent unless he has something beneficial to say. The Messenger of Allâh said: ‘Whoever believes in Allâh and the Last Day, let him speak good or remain silent.’ Perhaps, due to his excessive speaking and shouting he will not be on his guard from the danger of falling into backbiting, lying, slandering and other such matters.
The Second: Being ignorant and heedless of Allâh’s remembrance. Shaytân exhausts himself in gaining mastery over the soul so that he can prevent it from Allâh’s remembrance. The one who remembers Allâh is in a strong fortress, protected from Shaytân as long as he does not forget or become heedless. Whoever becomes heedless, he will open up a small gap for the enemy by which he can get to him and then penetrate into his soul and whisper to it. This is why there is a strong encouragement and recommendation for making the various supplications and reciting portions of the Qur’aan during every moment and in every place until they become a sanctuary and a preventive measure for the one who uses them.
There exist, for example, supplications for the evening, the morning, for entering into the house and leaving it, for sleeping and awakening and others besides them. Fighting against the soul occurs by checking and curbing the defiance of its desires and its lusts. And with the abundant remembrance of Allâh a preventive barrier is set up against every destructive lust or transgressing desire.
Abû Hafs said: ‘Whoever does not oppose his soul at every moment and situation and does not make it perform those things which it dislikes, at all times, is deceived and has destroyed it (his soul).’
Al-Hasan (rh) said: ‘A believer becomes amazed with something (that he likes) and says: By Allâh, I desire you and you are certainly one of my needs. But by Allâh, there is no way towards you. How far you are, there is a barrier between me and you!’
A person knows what his soul wants and desires. It is therefore, essential for him not to give it everything that it covets and desires. It is also vital for him to confine and straiten his soul so that he does not go to excesses in giving it what it seeks.
We know that Umar (ra), when his wife desired a sweet (dish), forbade her from it because he knew than if she asks for a sweet (dish) today, she will ask for something else tomorrow which is greater. So he closed the door upon her at the very beginning. The condition of most people however, is that a person will be generous to his soul and shower upon his soul whatever it asks of him and even what it does not even ask of him. So his soul becomes tired and fed up due to his extravagance and excess. What is our condition then, when compared to that of our Pious Predecessors? We direct our complaint to Allâh!!”
The Third Way: Making the Soul Patient in Allâh’s Obedience
The soul runs away often from some acts of worship because they are amongst the things it does not desire. This continues due to certain causes prevent a person from desiring these acts of worship. Amongst them are laziness in performing acts of worship (such as prayer) and the love of sleep. As a result, the opportunity to perform much worship passes him by. It can also occur due to miserliness. A person will not give the obligatory charity or other things which are required of him so that they become endeared to the soul and the soul begins to aspire for them after it had been fleeing from them.
It is vital that there is a spiritual war, which can be intense and hard, but with a strong will, turning to Allâh, making continuous du‘â (supplication) to Allâh and requesting His help in this act of obedience to Him, this matter will be made easy for him. And Allâh will lighten his burden for him until these acts (of worship) are beloved to the soul.
All of this cannot occur except after fighting and struggling against the soul. A person will find himself in many trials and intense battles along with his capability of avoiding such actions. This means that a person, even though he is in need and capable of fasting, will not fast due to following his whims and even though he is capable he will not pray and as a result please his desires and his soul which commands the evil.
However, we find that another person fasts voluntarily, although he is not in need of fasting voluntarily (to curb his desires) and neither does his soul aspire towards fasting. Yet he still declares war upon his soul and fights against it (with fasting and prayer) so that he makes it do what he desires and not let it make him do what it commands and desires.
Therefore, patience when accompanied with performing those actions (such as prayer and fasting) upon which the soul perseveres is considered the greatest and most perfect form of patience as Ibn Taymiyyah (rh) has explained. And Ibn al-Qayyim (rh) said: “Verily, having patience in obedience (to Allâh) occurs by performing an act of obedience, then guarding it and being persistent in (performing) it.”
This is the thing which very few amongst us are able to do, that we show patience in continually observing obedience to Allâh and persisting in such obedience. This is because the soul gets bored with it and does not have the desire to perform it another time. At this stage showing patience and realising the great excellence this action has in the sight of Allâh is required. The actions most loved by Allâh are the ones which are performed continuously, even if they are small actions. The Messenger of Allâh used to love, when he performed an action, that he remained constant upon it.
The saying of the Prophet to Abdullâh bin Umar: “Do not be like so and so who would pray during the whole of the night and then abandoned it”, was nothing but a means of encouraging him to be constant in his good actions. It is also necessary that along with being continuous in ones actions, a person also beautifies them and excels in them and this occurs with having Ikhlâs (sincerity) and dings them in accordance with the command of Allâh and His Messenger .
The Fourth Way: Fighting Against the Soul and Making it Patient in Refraining from Allâh’s Disobedience
This means that a person holds his soul to account in order to make himself distant from falling into disobedience while also bearing in mind that the reasons and motives of falling into the sin are numerous. Among such reasons are the strength of ones youthfulness and manhood, since the youth are known to love the pleasures and joys of this world.
When a person turns away from an act of disobedience even though he has the opportunity and is capable of performing it, he has turned his soul away from the unlawful and has opposed his soul, pleasing Allâh thereby, and being obedient to Him. He has struggled with his soul and fought against it with a strong and intense battle. As a result of this he overcomes and dominates it and he will receive success and prosperity in this world and the Hereafter with the permission of Allâh.
And Shaikh-ul-Islâm (rh) said: “Showing patience in (avoiding) the unlawful things is more excellent than showing patience in calamities and afflictions. Whoever abandoned an act of disobedience although he was capable of performing it is one whose fight against his soul is most intense and most excellent. This is because he left a thing which his soul tempted him with and made him aspire for. So he opposed it and was capable of defeating it.”
This is why the youth who is tempted by a women of rank and beauty and says to her: “I fear Allâh” will be amongst the seven whom Allâh will shade on the Day when there will be no shade except for His, because he prevented his soul from committing what it desired and wanted and at the same time he was capable of performing it.
Likewise, the one who lowers his gaze although he has the opportunity and capability to look at something unlawful is amongst those who fight against and deter their souls. Along with that he will receive a mighty reward in this world and the hereafter.
Also, the one who keeps his hearing away from the forbidden things such as music and singing, backbiting, slandering and lying, is a fighter against his soul and he will obtain a reward from Allâh if his action was to please Allâh.
A similar analogy can be made for every matter that makes a person distant from his Lord or earns His anger. It is vital for a person to be far from it and to oppose his soul in performing it.
And how excellent is the saying:
Oppose the soul and shaytân and protect it (the soul)
They (seem to) give you sincere advice, so restrain them both
Therefore, a person must oppose his soul and call it to account constantly. As a result of this he must make it patient in doing acts of obedience and refraining from acts of disobedience. He should also make it patient in being continuous in performing the righteous actions so that he ascends with them, to the highest of positions, to the pleasure of Allâh and to everlasting happiness.
I ask Allâh, the Most High and the Powerful to benefit us with what He has taught us and to teach us that which will benefit us and that He forgives our mistakes. We ask him to help us against our souls and that He does not leave us to rely upon ourselves for a single moment, verily, He is capable of that and Allâh knows best.
Prayers and peace upon our Prophet Muhammad and upon his family.

Allah 'alam

Tuesday 14 December 2010

The Truth About The Islamic Month, Muharram

Amalan & fadhillat puasa sunnah dbulan Muharram


Bulan Muharram adalah salah satu daripada bulan agung di dalam kalendar Islam. Beberapa peristiwa penting berlaku di dalam bulan ini. Allah swt juga mengurniakan kelebihan yang banyak bagi sesiapa yang meningkatkan amal di bulan yang mulia ini. Antara yang sering diamalkan oleh umat Islam di dalam bulan ini ialah berpuasa sunat. 

Di antara hadith-hadith sahih yang membicarakan tentang amalan puasa di bulan Muharram ini ialah:
Hadith-hadith tentang puasa hari A’syura:

• 1- Ibn ‘Abbas meriwayatkan yang bermaksud: “Apabila Nabi saw datang ke Madinah, Baginda melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, lalu Baginda bertanya: “Apakah ini?”. Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari yang baik di mana Allah telah menyelamatkan padanya Nabi Musa dan Bani Israil daripada musuh mereka, maka Musa pun berpuasa”. Lalu Baginda saw bersabda: “Aku lebih berhak dengan Musa daripada kamu”, maka Baginda pun berpuasa dan menyuruh orang ramai supaya berpuasa“. (Riwayat al-Bukhari )
• 2- A’isyah r.a berkata (maksudnya): “Rasulullah saw telah mengarahkan supaya berpuasa pada hari A’syura, dan apabila telah difardhukan puasa Ramadhan, maka sesiapa yang hendak berpuasa (hari A’syura) maka dia boleh berpuasa, dan sesiapa yang hendak berbuka maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa)“. (Riwayat al-Bukhari & Muslim).
• 3- Daripada ‘Aisyah r.a berkata yang bermaksud: “Orang-orang Quraish di zaman jahiliyah berpuasa pada hari ‘Asyura, dan Rasulullah saw juga berpuasa pada hari A’syura. Maka apabila Baginda datang ke Madinah, Baginda berpuasa pada hari itu dan menyuruh orang ramai berpuasa. Apabila difardhukan kewajipan puasa Ramadhan, ditinggalkan puasa pada hari ‘Asyura lalu Baginda bersabda: ((Sesiapa yang mahu, maka dia boleh berpuasa, dan sesiapa yang tidak mahu berpuasa, maka dia boleh tinggalkannya)). (Riwayat al-Bukhari & Muslim)
Inilah beberapa contoh hadith sahih yang menyebut tentang puasa pada hari ‘Asyura. Daripada hadith-hadith ini dapat difahami bahawa puasa pada hari ‘Asyura merupakan suatu perkara yang wajib sebelum daripada difardhukan puasa Ramadhan. Apabila difardhukan puasa Ramadhan pada tahun ke-2 Hijrah, maka kewajipan ini telah gugur. Namun ianya tetap digalakkan dan merupakan salah satu daripada sunnah yang sangat dituntut. Inilah diantara kesimpulan yang disebut oleh al-Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani (w 852) dan al-Imam Muslim (w 676) ketika menghuraikan hadith-hadith tentang puasa ‘Asyura ini.
(Rujuk Fath al-Bari, Kitab al-Saum, Bab Siyam Yaum ‘Asyura, 4/309, dan al-Minhaj Syarh Sahih Muslim, Bab Saum Yaum ‘Asyura‘ 4/245).

Fadhilat Puasa Hari ‘Asyura
Sesungguhnya kelebihan yang dijanjikan oleh Rasulullah saw bagi sesiapa yang mengamalkan puasa sunat ini amatlah besar. Diantaranya ialah apa yang diriwayatkan oleh Qatadah (maksudnya): “Bahawasanya Rasulullah saw ditanya tentang puasa hari ‘Asyura, lalu Baginda saw menjawab: “Ia menghapuskan dosa setahun yang lalu)). (Hadis sahih riwayat Imam al-Tirmizi).
Di dalam riwayat yang lain pula disebutkan bagaimana Rasulullah saw begitu mengambil berat dan memberi keutamaan kepada amalan puasa pada hari ‘Asyura ini. Hal ini sebagaimana yang disebut oleh Ibn Abbas bahawa beliau pernah ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura ini, lalu beliau berkata: “Aku tidak pernah ketahui bahawa Rasulullah saw berpuasa sehari kerana mencari kelebihannya di atas hari-hari yang lain kecuali pada hari ini, dan Baginda tidak berpuasa sebulan kerana mencari kelebihan di atas bulan-bulan yang lain kecuali bulan ini, iaitu: Ramadhan”. (Riwayat Imam Muslim)

Puasa Tasu’a (hari ke-9 Muharam)
Selain daripada berpuasa pada hari ‘Asyura ini, kita juga digalakkan untuk berpuasa pada hari sebelumnya iaitu hari ke-9 Muharram. Ini berdasarkan beberapa hadis sahih, antaranya ialah:
• 1- Daripada Ibn Abbas r.a berkata (maksudnya): “Ketika Rasulullah saw berpuasa pada hari ‘Asyura, Baginda turut mengarahkan orang ramai supaya turut berpuasa. Lalu mereka berkata: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya hari ini adalah hari yang dibesarkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Lalu Rasulullah saw bersabda lagi: ((Sekiranya di tahun depan, jika diizinkan Allah, kita akan berpuasa pada hari ke-9)). Ibn Abbas berkata: Tidak sempat munculnya tahun hadapan, Rasulullah saw wafat terlebih dahulu.”. (Riwayat Imam Muslim)
• 2- Daripada Ibn Abbas r.a berkata, bahawa Rasulullah saw bersabda (maksudnya): ((Sekiranya aku masih hidup hingga tahun hadapan, nescaya aku pasti akan berpuasa pada hari ke-9)). (Riwayat Muslim).
Imam al-Nawawi (w 676) dalam menghuraikan hadis-hadis ini telah menukilkan pendapat Imam al-Syafie dan ulamak di dalam mazhabnya, Imam Ahmad, Ishak dan yang lain-lain bahawa mereka semua ini berpendapat bahawa disunatkan berpuasa pada hari ke-9 dan hari ke-10, kerana Nabi saw berpuasa pada hari ke-10 (‘Asyura) dan berniat untuk berpuasa pada hari ke-9 (tahun berikutnya). Imam al-Nawawi menyambung lagi: “Sebahagian ulamak berpendapat bahawa kemungkinan sebab digalakkan berpuasa pada hari ke-9 dengan hari ke-10 ialah supaya tidak menyamai dengan amalan kaum Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ke-10“.
(Rujuk: al-Minhaj syarh Sahih Muslim, Bab al-Siyam, (Beirut: Dar al-Ma’rifah , cet.7, 2000), jil 4, hal. 254) .

Justeru, marilah kita merebut peluang di kesempatan bulan yang mulia ini untuk menambahkan amalan kita dengan berpuasa sunat. Renungilah saranan yang diberikan oleh Rasulullah saw seperti mana yang diriwayatkan oleh Jundub bin Sufian bahawa Rasulullah saw bersabda (maksudnya): “Sesungguhnya solat yang paling utama selepas solat fardhu ialah solat diwaktu tengah malam dan puasa yang paling utama selepas puasa Ramadhan ialah puasa di bulan Allah yang kamu panggilnya Muharram”. (Hadis riwayat Imam al-Nasa’ie dengan sanad yang sahih).

Sunday 12 December 2010

Selamat ulangtahun Dihah ~ ('= smoga prsahabatan kita berkekalan hingga kesyurga





Sanah helwa untuk sahabat tercintaku Dk Fathiyah 1412~ ^_^ Loving u always my dear~ ('=

AZAB anak derhaka ketika mnghadapi sakaratul maut


CERITA BENAR - AZAB ANAK DERHAKA HADAPI SAKARATUL MAUT - OLEH USTAZ NAHRAWI MARZOKI

Sebaik sampai ke pintu wad, jeritan Jalal menerpa ke telinga saya. Jeritannya sungguh kuat kerana azab dan sakit yang ditanggungnya tidak mampu ditanggung lagi. Saya percepatkan langka menuju ke katilnya. Di sisi katil saya lihat ahli keluarga Jalal sedang menangis tersedu-sedu. Jelas mereka panik dan tidak tahu apa yang perlu dilakukan, kecuali melihat Jalal menggelepar kesakitan dan berdoa semoga Jalal cepat sembuh. Di katil pula, Jalal meraung dan meronta sambil tangan dan kakinya terikat kemas di katil.

"Terima kasih ustaz sebab sudi datang bantu kami. Saya dah tak tahu apa nak buat. Dah seminggu lebih adik saya macam ni," kata salah seorang abang kepada Jalal sebaik melihat saya sampai.Sebelum itu mereka menghubungi saya melalui telefon meminta saya segera datang untuk membantu menyembuhkan penyakit adik bongsu mereka itu.

"Apa sakitnya ni?" tanya saya. "Entahlah ustaz, doktor pun tak tau."

Sedang kami berbual, tiba-tiba sekali lagi Jalal menjerit kesakitan. Kali ini jeritannya cukup jelas di pendengaran saya. Jeritannya menakutkan dan menyedihkan.

"Emak, ampunkan saya mak. Panaaaassss. Saya sakit mak, sakiiiiittttttt! Tolonglah emak, ampunkan dosa saya." Berserta raungan yang dilepaskan sekuat hati, tubuh Jalal menggelepar seperti dipanggang di dalam api yang marak. Mukanya berkerut sementara matanya terbelalak akibat azab yang amat pedih. Semua yang ada di wad berkenaan memandang ke arah kami. Jeritan itu menyebabkan saya tertanya-tanya. Apakah yang menyebabkan Jalal jadi sedemikian rupa? Apa pula kaitan antara penyakitnya itu dengan ibunya?

"Panggil ibunya segera," kata saya.

Namun kata-kata saya itu tidak dijawab. Ahli keluarga Jalal cuma terdiam menundukkan muka atau berpandangan sesama sendiri.

"Kenapa ni?" tanya saya.

Dengan perlahan abang Jalal bersuara, "Ustaz, ibu kami baru sahaja meninggal dunia dua minggu lepas."

"Kalau macam ini susahlah sikit. Saya rasa mungkin Jalal ada melakukan kesalahan besar kepada ibunya, sebab itulah dia menanggung azab yang begini rupa. Dalam keadaan macam ini, cuma ibunya saja yang dapat membantu," kata saya berterus terang.

Mereka cuma mendiam diri sementara jeritan Jalal semakin kuat. Saya semakin ingin mengetahui puncanya kerana dengan latar belakang itu insya-Allah, saya boleh cuba carikan jalan lain untuk meredakan kesakitan Jalal.

"Ceritakanlah kepada saya apa yang sebenarnya telah berlaku."

"Ustaz, sebenarnya adik saya ini sudah derhaka kepada arwah ibu kami," jawab salah seorang daripada mereka.

Dengan tenang, tapi air mata bergenang abang Jalal menceritakan kepada saya kisah yang sebenarnya, kisah yang cukup menyayat hati saya. Menurutnya, Jalal adalah anak bongsu daripada mereka enam beradik, empat perempuan dua lelaki dan di kalangan mereka, Jalallah yang mempunyai kelulusan yang lebih tinggi. Bagaimanapun, sejak kecil hinggalah dia bekerja dan seterusnya berkahwin, Jalal sentiasa sahaja melawan dan menyanggah kata-kata ibunya. Nasihat dan teguran ibunya pula dipandang rendah serta tidak diendahkan. Syurga anak di bawah telapak kaki ibunya. Walaupun berpendidikan tinggi,Jalal sentiasa sahaja kekurangan wang, seolah-olah tidak dirahmati rezekinya. Berterusanlah keadaan itu hingga dia berumahtangga. Keadaan menjadi semakin buruk apabila Jalal meletakkan jawatannya di sebuah syarikat swasta. Hasratnya adalah untuk mencari rezeki yang lebih banyak di syarikat lain, namun nasibnya bukan sahaja tidak berubah, malah menjadi semakin parah. Walau di syarikat manapun yang Jalal menghadapi masalah yang seterusnya membawa kepada dia meletakkan jawatan. Dalam kegawatan itulah Jalal mula meminjam wang daripada sahabat-sahabatnya. Selepas sekian lama hutangnya semakin banyak, namun dia masih tidak = mampu melunaskannya. Rumahtangga Jalal mula kucar-kacir dan akhirnya merek bercerai. Bagi menyelesaikan masalah tersebut, Jalal mendesak ibunya supaya mencagarkan tanah mereka di kampung kepada bank. Tanah seluas 12 ekar itu ditinggalkan oleh bapa mereka yang meninggal dunia tiga tahun sebelum itu.

"Emak, saya nak tanah tu. Bank dah setuju nak kasi RM500,000. Saya nak duit tu buat berniaga," katanya kasar.

"Jalal, engkau ni dah melampau. Itu tanah adik-beradik kamu," jawab si ibu.

"Ahhh, saya tak kira."

"Jalal, emak tidak benarkan. Emak tau, duit tu nanti bukannya engkau nak buat berniaga, tapi nak bayar hutang," jawab ibunya.

Bukan sahaja ibunya, malah semua adik-beradik Jalal tidak membenarkannya mencagarkan tanah tersebut kepada bank. Jalal pulang dengan hati kecewa. Namun dia masih bertekad untuk mendapatkan tanah berkenaan walau dengan apa cara sekalipun. Suatu hari, Jalal datang ke rumah ibunya. Beberapa orang adik-beradiknya ada di situ. Sekali lagi pertengkaran berlaku dan berakhir dengan tragedi yang amat menyedihkan. Ketika kemarahannya sampai kemuncak, Jalal menolak ibunya sekuat-kuat hati menyebabkan kepala ibunya terhantuk di pintu. Darah dari luka terpalit di pintu sedang ibunya terjelopok di lantai, rebah tidak sedarkan diri. Si ibu segera dibawa ke hospital sementara Jalal puas hati kerana dapat melepaskan kemarahannya. Akibat pendarahan otak yang serius, ibunya meninggal dunia tanpa sempat melafazkan keampunan kepada Jalal. Bermulalah azab dalam hidup Jalal. Kira-kira seminggu selepas kematian ibunya, Jalal dikejarkan ke hospital kerana jatuh sakit secara tiba-tiba. Apa yang membingungkan ialah doktor gagal mengesan penyakit yang dihadapinya. Jalal sebaliknya meraung, menjerit, meronta dan menggelepar kesakitan. Dalam raungannya itulah dia meminta ampun kepada arwah ibunya kerana tidak sanggup menanggung azab yang pedih. Berterusanlah keadaannya selama beberapa hari hingga saya dipanggil. Dalam waktu itu, doktor dan jururawat tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mengikat Jalal di katil dan menyuntiknya dengan ubat pelali untuk menidurkannya.

"Kalau begitu kisahnya, saya cuba cara lain," kata saya.

Di samping ayat-ayat suci al-Quran, saya membacakan surah Yassin untuknya. Namun apabila dibacakan saja ayat suci itu, Jalal menjerit kepanasan. Tubuhnya menggeletik dan menggelepar kesakitan.

"Aduh panasnya! Emak, ampunkanlah saya emak! Jangan bawa saya ke situ emak, panas. Jangan bawa saya ke situ. Saya tak mau, sakit, sakit. Tolonglah saya emak, ampunkan saya, saya bersalah."

Jeritan Jalal itu meruntun hati saya. Apakah yang dimaksudkannya dengan 'ke situ'? Kenapa Jalal tidak mahu dibawa 'ke situ' dan apa yang dilihatnya di situ? Akibat tidak tertahan panas, tubuh Jala terpaksa dibogelkan. Tangan dan kakinya terus diikat ke katil. Selepas puas mencuba tapi keadaan Jalal masih tidak berubah, saya meminta diri untuk pulang. Satu ingatan saya tinggalkan kepada mereka, "Jika Jalal masih hidup selepas zuhur ini, insya-Allah nyawanya masih panjang. Kalau tidak..." Ketika itu lebih kurang pukul 10 pagi.

Saya tinggalkan mereka, namun sedang saya memandu telefon bimbit saya berdering.

"Ustaz! Cepat ustaz, adik saya dah nazak," kata si abang.

Saya berpatah balik dan apabila sampai di katilnya, saya lihat Jalal begitu tenat. Nyawanya seperti sudah di penghujungan. Keluarganya semakin cemas sambil air mata tidak henti-henti mengalir. Saya bacakan Surah al-Asr, Surah al-Falaq, Surah an-Naas serta asma ul husna. Alhamdulillah, Jalal berhenti meraung dan menggelepar. Keadaan senyap seketika. Masing-masing beristighfar dan membaca ayat-ayat suci al-Quran. Terbayang kelegaan di wajah mereka. Tiba-tiba, ketenangan itu dipecahkan sekali lagi oleh jeritan Jalal. Dia mengerang sambil tubuhnya kejang menahan kesakitan, mata terjegil seperti hendak terkeluar dan dalam satu detik yang serentak juga najisnya terpancut keluar. Bertabur membasahi seluarnya. Bau najis menusuk hidung kami. Maha suci Allah, keadaannya adalah seperti sesuatu yang berat menghenyak perutnya yang mengakibatkan nyawa, roh, najis, organ-organ dan segala-galanya yang ada di dalam tubuh terhambur keluar secara serentak. Di bahagian atas, semuanya seperti hendak terpancut keluar hingga mata Jalal tersembul sementara di bahagian bawah, kakinya kaku dan najis berhambur memancut-mancut. Cukup aib dan menyedihkan. Pakaian dan katil basah dengan air mata, peluh serta najisnya. Selepas 'rentapan' itu, Jalal tidak bernafas lagi. Degupan jantungnya berhenti dan dia pergi menghadap Allah SWT untuk menerima balasan amalannya. Tamatlah riwayat seorang anak derhaka.

Saya cuma mampu melihat dengan gementar sementara keluarga Allahyarham menangis dan berpelukan sesama sendiri. Yang perempuan terpaksa keluar kerana tidak sanggup melihat mayat adik mereka. Demikianlah sakaratulmaut datang menjemput Jalal. Seperti yang dijelaskan di dalam al-quran dan hadis, ia datang dengan menyentap, merentap dan merenggut nyawa Jalal tanpa ada kasihan belas. Sudah berpuluh-puluh tahun saya menguruskan jenazah dan melihat orang menghadapi saat kematiannya, namun pengalaman menyaksikan sakaratulmaut menjemput Jalal cukup memilukan hati saya. Kesengsaraan yang ditanggung oleh Jalal sudah berakhir, namun mayatnya meninggalkan keaiban yang amat sangat. Matanya terbonjol seperti hendak terkeluar sementara giginya menyeringai. Dari kerut wajahnya, jelas sekali Allahyarham baru sahaja menanggung kesakitan dan azab yang amat pedih. Saya cuba pejamkan mata Allahyarham, namun gagal. Kelopak mata tidak berupaya untuk menutup biji matanya yang tersembul itu. Cukup mengerikan kerana hanya mata putih sahaja yang kelihatan. Ikatan di kaki dan tangan Allahyarham dileraikan dan tangannya dikiamkan. Kaki Allahyarham dirapatkan, namun sekali lagi saya menyaksikan keaiban kaki Allahyarham tidak boleh dirapatkan kerana duburnya terpancut keluar dan membonjol di celah kelengkangnya. Saya menenangkan mereka supaya bersabar dan reda dengan apa yang telah terjadi. Selesai membersihkan tubuh Allahyarham, jenazah dibawa turun kerana keluarganya mahu menguruskan jenazah tersebut di rumah mereka di salah sebuah taman perumahan di sebuah negeri di pantai barat semenanjung. Rupa-rupanya keaiban belum berakhir. Sebaik sahaja van yang membawa Allahyarham keluar dari perkarangan hospital, tiba-tiba keempat-empat shock absorbernya patah secara serentak. Van yang cuma membawa lima orang, mayat yang badannya sederhana sahaja, dua orang abang dan kakaknya, pemandu serta seorang pembantu, boleh patah shock absorbernya? Kelindan van bergegas memanggil kami. Maha suci Allah, Tuhan yang Maha Besar, apabila hendak dikeluarkan dari van, jenazah itu kami rasakan teramat berat hingga terpaksa diangkat oleh kira-kira 15 orang. Selesai masalah itu, satu lagi masalah timbul - tidak ada van atau kereta yang berani untuk mengangkat jenazah tersebut. Kebetulan sebuah lori kosong yang mengangkat tanah, pasir ataupun kelapa sawit lalu di tempat kejadian. Dengan lori itulah jenazah dibawa pulang ke rumahnya. Apa yang membingungkan kam ialah walaupun mayat berkenaan terlalu berat, tapi kayu penusungnya tidak pula patah. Lori bertolak ke rumah Allahyarham sementara saya pula memandu pulang ke rumah. Saya dimaklumkan bahawa Allahyarham dikebumikan di sebelah kubur ibunya. Namun diceritakan juga kepada saya bahawa tanah yang ditambun ke atas kuburnya tidak mencukupi. Untuk mengelakkan kubur Allahyarham berlubang, tanah lain terpaksa diambil dan ditambur ke atasnya.

Tiga hari kemudian, saya menerima panggilan telefondaripada keluarga Allahyarham.

"Ustaz, saya nak minta pertolongan dan pandangan daripada ustaz."

"Apa masalahnya itu?" tanya saya.

"Kubur adik saya berlubang ustaz."

Masya-Allah, demikian sekali keaiban yang Allah tunjukkan kepada anakyang derhaka kepada ibunya. Menurut abang Allahyarham,kewujudan lubang itu disedari sehari selepas Allahyarham dikebumikan. Lubang tersebut bermula dari bahagian tengah kubur hinggalah mencecah kepada papan yang menutup liang lahad. Tambah abang Allahyarham lagi, mereka mengambusnya dengan tanah, namun keesokan harinya kubur tersebut berlubang semula.

"Begini sajalah, cuba masukkan sekali kayu atau papan ke dalam lubang tersebut, insya-Allah, tak berlubang lagi," kata saya.

Namun keesokan harinya sekali lagi abang Allahyarham menghubungi saya memberitahu bahawa kubur berkenaan berlubang semula.Apa yang membingungkannya, tanah di kubur arwah ibunya langsung tidak berubah, masih tetap membusut walaupun sudah lebih dua minggu dikebumikan. Bukan itu sahaja, katanya, pokok yang ditanam di kubur ibunya juga hidup segar sedangkan pokok yang ditanam di kubur adiknya mati kelayuan. Pada hari kelima, saya menghubungi abang Allahyarham.

"Begini sajalah," kata saya. "Mulai malam ini buatlah majlis Yassin dan tahlil. Panggil 20 orang dan setiap seorang baca Surah Yassin sebanyak 2 kali. Apabila selesai bacaan Yassin, minta imam bacakan doa supaya diampunkan dosa Allahyarham kepada ibunya. Baca dalam bahasa Melayu dan ulang doa itu sebanyak tujuh kali."

Seperti yang saya nasihatkan, pada malam berkenaan mereka mengadakan majlis itu. Namun saya diberitahu, imam yang membaca doa tersebut menggigi ketakutan. Alhamdulillah, pada hari ketujuh, kubur berkenaan tidak lagi berlubang. Peristiwa ini sudah berlaku empat tahun lepas namun masih terbayang-bayang di mata saya. Setiap kali tibanya hari raya aidilfitri, setiap kali itulah peristiwa tersebut menjelma dalam ingatan kerana ia terjadi cuma beberapa hari selepas kita berhari raya. Sungguh menyentuh hati saya, ketika orang sedang bergembira berhari raya, ketika itulah keluarga tersebut ditimpa petaka, si ibu meninggal dunia dan anaknya yang derhaka diazab hingga ke akhir hayatnya.

Kisah ini saya paparkan bukan untuk mengaibkan Allahyarham ataupun keluarganya, tapi supaya kita dapat mengambilnya sebagai pedoman dan iktibar. Doakanlah semoga dosa Allahyarham Jalal diampunkan Allah.

Wahai lelaki, muliakanlah Wanita!!!



Islam sangat melarang lelaki berfoya-foya dengan wanita. Pergaulan antara lelaki dan wanita ada batasnya. Jika seseorang lelaki itu ada keinginan terhadap seorang wanita, maka dia hendaklah masuk meminang dan berkahwin. Langkah itu bukan sahaja membawa kepada pahala kerana mengikut sunnah Nabi saw, tetapi juga mengelakkan dirinya daripada keburukan dan maksiat. Hentikanlah amalan membawa wanita yang bukan muhrim ke sana sini dengan niat suka-suka kerana ia bukan sahaja berdosa tetapi juga menjatuhkan kemuliaan pada diri dan keluarga masing-masing. Apatah lagi apabila hubungan berkenaan dengan sekadarsuka-suka, tidak membawa kepada pernikahan. 

Pengharaman ini wajar kerana kesan dari melanggar larangan tersebut akan terbawa-bawa kepada zuriat nanti. Allah sangat mengharapkan lahir dari zuriat itu, mereka yang baik dan cergas. Hadis Rasulullah saw ada menerangkan bahawa baginda benci kepada orang yang suka membujang sampai ke tua. Berkahwin adalah sunnah Rasulullah saw, dan baginda akan berbangga dengan umatnya yang ramai di akhirat kelak. Namun demikian untuk mendirikan rumahtangga berbagai-bagai persediaan yang perlu disiapkan sebagai bekalan dan jambatan untuk meniti alam berumahtangga. Ada beberapa persoalan yang perlu kita tanya pada diri sebelum memilih seseorang sebagai pasangan hidup. Islam menegaskan pilihan hendaklah berasaskan kepada yang kuat berpegang kepada agama dan berakhlak mulia serta mempastikan samada sudah dipinang atau belum dan berbagai-bagai lagi.

Rasulullah saw bersabda yang maksudnya: "Janganlah kamu kahwin dengan perempuan kerana kecantikannya, kerana boleh jadi mereka akan merugikan. Dan jangan kerana hartanya, kerana boleh jadi mereka akan mendurhakai. tetapi kahwinlah kerana agamanya. Sesungguhnya seorang budak perempuan hitam yang pecah hidungnya tapi beragama adalah lebih baik." Baginda bersabda lagi yang maksudnya: "Barangsiapa berkahwin akan perempuan kerana hartanya dan elok rupanya nescaya diharamkan akan hartanya dan elok rupanya yakni ditegahkan akan hartanya dan eloknya, dan barangsiapa yang berkahwin akan dia kerana agamanya nescaya diberi rezeki oleh Allah swt akan dia akan hartanya dan eloknya." Dari hadis di atas dapatlah difahami bahawa Rasulullah saw menegaskan kepada kaum lelaki supaya memilih calon isteri orang yang beragama serta berakhlak mulia, kerana bila isteri itu kuat beribadah akan membuahkan akhlak yang mulia maka rezeki dan hartanya dimurahkan Allah swt. Tanda-tanda seseorang wanita itu baik maruah dan akhlaknya antaranya ialah:

1. Berakhlak dengan Allah seperti tekun dan bersungguh-sungguh beribadah. Sabar dalam menempuh kesusahan (ujian) daripada Allah dan dalam mengerjakan perintah-perintahnya, sentiasa bersyukur dengan kurniaan Allah, tenang dalam menerima ketentuan Allah serta banyak mengingati Allah swt.

2. Tumpuan hatinya ialah untuk memperbaiki akhlak, mengurus rumahtangga dengan baik, memelihara ibadah dan menjaga hubungan dengan manusia.

3. Berakhlak dengan ibubapa, memuliakan mereka serta membantu dan menyenangkan mereka. Sentiasa berusaha mengajak keluarga kepada kebaikan dan keredhaan Allah swt.

4. Baik pergaulannya sesama rakan, jiran dan masyarakat sekeliling. Tidak mengganggu dan menyakiti mereka, malah membantu dan memudahkan mereka dengan apa cara yang termampu.

5. Mentaati suaminya, redha dengan pemberian suami, melayan suami dengan baik, bersopan santun dalam segala percakapan dan tindakan, menjaga aurat atau kehormatan diri dan memelihara maruah suami. Disunatkan pula memilih gadis yang terdiri dari keturunan yang kuat agama, anak cucu orang alim dan soleh. Seseorang wanita yang kuat agama memiliki sifat-sifat kemanusiaan, berbudi pekerti tinggi. Di sinilah letaknya realiti seorang wanita. Seorang wanita yang mempunyai sifat-sifat kewanitaan yang tulin maka itulah keistimewaan dan kecantikan yang hakiki. Rasulullah saw sendiri ada menerangkan bahawa seorang lelaki yang beristeri wanita solehah bererti dia telah mendapat satu nikmat Allah yang besar. Keterangan ini terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh ibnu Abbas r. a: "Empat jenis, sesiapa yang diberi keempat-empatnya bermakna dia telah memperolehi sebaik-baik dunia dan akhirat. Iaitu hati yang selalu syukur, lidah yang sentiasa berzikir, jiwa raga yang sabar dengan ujian dan isteri yang tidak melakukan dosa serta tidak menzalimi suaminya." Hikmah memperolehi wanita yang terdidik di dalam golongan keluarga yang soleh ini telah jelas dinyatakan sebahagian daripada sifat- sifatnya oleh Rasulullah saw: "Tidak perlu bagi seorang Mukmin setelah ianya bertaqwa kepada Allah, sebaik-baik keperluan baginya ialah seorang isteri yang solehah, jika suami melihat kepada isterinya, isterinya tetap juga berbuat baik kepada suaminya dan jika suaminya tiada di rumah dia menyimpan rahsia dan harta suaminya." Demikianlah di antara kelebihan yang diperolehi oleh seorang suami jika ia memiliki isteri yang solehah. Islam menggalakkan mengahwini wanita-wanita asing daripada keluarga terdekat untuk meluaskan hubungan kekeluargaan dan mengukuhkan persaudaraan Islam. Risiko dari perkahwinan sanak saudara akan melahirkan anak-anak yang tidak sihat dan lembab otak. Tujuan digalak berkahwin dengan orang yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan supaya dapat melahirkan anak-anak yang sihat, bertenaga, cantik dan pintar. Rasulullah saw bersabda yang maksudnya: "Janganlah kamu nikahi wanita-wanita kerabat terdekat, maka sesungguhnya anak yang bakal lahir nanti berakhlak lemah fikiran dan akal." Rasulullah saw menyatakan kelebihan memilih gadis untuk dijadikan isteri berbanding dengan janda. Rasulullah saw bersabda: "Kahwinlah para gadis kerana sesungguhnya, mereka itu menarik tutur bahasanya, bersih rahimnya (mampu berzuriat), kurang dalihnya dan mudah meredhai kerjanya." Rasulullah saw menekankan kelebihan memilih gadis untuk dijadikan isteri kerana setiap perkahwinan berkehendakkan sesuatu hasil penguniaan anak yang soleh dan solehah. Untuk melaksanakan tugas yang mulia ini maka perlulah seorang lelaki itu mengkaji secara terperinci terlebih dahulu bakal isterinya agar dapat melahirkan anak dan tidak ada sebarang keuzuran yang boleh menghalangnya dari mengandung dan bersalin. Bagi mengetahui sifat-sifat kesanggupan gadis itu, pada umumnya boleh dijadikan ibunya sebagai perbandingan. Seandainya ibunya mempunyai ramai anak, pada kebiasaannya gadis itu pun akan mewarisi ibunya, tetapi tidak semua tanggapan ini benar, kadang-kadang mengikut baka dirinya pula. Apabila ramai zuriat, semakin kukuhlah ummah dan teruslah tertegaknya daulah Islamiah. Membiak zuriat bertambah seri, erat dan bahagianya sebuah rumahtangga di mana wujud ketenangan jiwa hasil kasih sayang antara kedua suami isteri. Rasulullah saw, begitu kuat menekankan supaya setiap lelaki memilih calon isterinya yang ramai anak, sebagaimana sabda baginda: "Kahwinlah perempuan-perempuan yang keturunan banyak anak, sesungguhnya aku berbangga dengan ramainya umatku dihadapan para Nabi pada Hari Kiamat nanti."

REDHA ALLAH bergantung pada REDHA KEDUA IBUBAPA


Ibubapa adalah insan yang sangat penting bagi seorang yang bergelar anak. Pengorbanan mereka tidak dapat diganti dengan wang ringgit yang berjuta. Justeru itulah kenapa anak-anak wajib berbakti kepada mereka. Bahkan mengingkarinya dikategorikan sebagai anak yang derhaka.
Hadith :Sabda rasulullah s.a.w yang maksudnya: " Redha Allah bergantung pada redha dua ibu bapa, dan murka Allah bergantung pada murka kedua-dua ibu bapa."Riwayat al-Hakim
Ini bermakna, tanggungjawab kita terhadap dua ibubapa mendahului urusan yang lain. Berbakti kepada ibu bapa sama nilainya dengan pahala jihad. Sahabat Nabi SAW, Abdullah bin Amru bin 'Ash berkata: "Pada suatu hari seorang lelaki menghadap Rasulullah SAW, memohon izin untuk ikut berjihad bersama Baginda. Lantas Rasulullah SAW bertanya kepada lelaki itu: "Adakah orang tuamu masih hidup?" Jawabnya: "Ya, mereka masih hidup." Rasulullah SAW bersabda: "Dalam diri orang tuamu itulah terdapat nilai jihad." (Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Walaubagaimanapun, ibu diberi kelebihan dari bapa untuk ditaati, memandangkan pengorbanannya yang cukup besar sewaktu mengandung, melahir dan mendidik anak-anak dalam penuh kesusahan dan kepayahan. Bahkan kasih-sayang yang mendalam dari seorang ibu sanggup berbuat apa sahaja demi anaknya.
Perkara ini berasaskan hadis sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang mafhumnya: Ada seorang lelaki datang bertemu Rasulullah s.a.w., lalu bertanya: Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk aku hormati?Baginda menjawab: Ibumu. Lelaki itu kembali bertanya : Kemudian siapa? Nabi menjawab: Ibumu. Lelaki itu terus bertanya : Kemudian siapa? Nabi menjawab lagi : Ibumu. Sekali lagi lelaki itu bertanya: Kemudian siapa lagi? Nabi menjawab pula: Kemudian bapamu.

Begitulah kedudukan seorang ibu pada pandangan Rasulullah. Betapa mulianya seorang ibu hinggakan Rasulullah s.a.w. meletakkannya sebagai pihak yang perlu dihormati selepas Allah dan Baginda.
Seorang lelaki di zaman Rasulullah mendukung ibunya ketika tawaf, namun kata Rasulullah beliau masih belum lagi menunaikan hak ibunya. Betapa besar jasa ibu bapa yang tidak mungkin dibalas oleh seorang anak.
Hadis riwayat Muslim dan Abu Daud berbunyi: "Seorang anak itu belum dapat lagi membalas jasa orang tuanya sehingga dia mendapatinya sebagai hamba. Lalu dibelinya dan dimerdekakannya."
Perlu kita ketahui adap-adap yang patut diajarkan kepada anak-anak agar di laksanakan oleh anak-anak terhadap orang tuanya. Diantaranya ialah
  1. Sentiasa mentaati dan mematuhi perintah ibubapa melainkan yang maksiat
  2. bercakap lembut dan sopan terhadap mereka
  3. bangun menghormati mereka apabila mereka pulang
  4. cium tangan mereka pagi dan petang
  5. menjaga maruah dan harta ibubapa
  6. memenuhi permintaan mereka dan apa yang diminta oleh mereka
  7. meminta pandangan mereka dalam urusan kita
  8. memohon keampunan untuk mereka dari Allah
  9. membantu mereka dengan rela hati tanpa disuruh
  10. tidak mengangkat atau meninggikan suara pada mereka
  11. tidak menyampuk apabila mereka sedang berkata-kata
  12. memaklumkan kepada mereka dan minta izin sebelum keluar
  13. tidak menganggu mereka bila mereka tidur
  14. tidak melebihkan isteri dan anak-anak dari mereka
  15. tidak menghina mereka bila mereka melakukan kesalahan dan perkara yang kita tidak suka
  16. tidak mengambil makanan yang berada didepan mereka
  17. tidak melunjur kaki kepada mereka
  18. segera menjawab panggilan mereka
  19. menghormati kawan-kawan dan sahabat-sahabat mereka waktu mereka hidup atau sudah mati.
  20. tidak memanggil mereka dengan nama mereka
  21. tidak memanjat tempat yang tinggi dari kepala mereka
  22. sering mendoakan mereka lebih-lebih selepas kematian mereka.
Beginilah sifat anak soleh yang patut ada pada diri kita. Sayangi lah kedua orang tua kita, jangan sampai ada di antara kita yang menjadi anak yang derhaka. Raikan kebaikan mereka dengan amalan yang mulia. Bukan setakat kita menyambut hari ibu atau hari bapa sahaja. tanpa menunaikan hak-hak yang seadanya. Moga tiada lagi anak-anak yang terfikir untuk menghantar ibu-ibu mereka di tempat-tempat kebajikan atau rumah-rumah orang tua. Kasihanilah ibu dan bapa kita.

Tatacara pergaulan dalam Islam


PANDANGAN ISLAM MENGENAI PERGAULAN
Manusia tertakluk untuk memelihara dua bentuk hubungan iaitu hubungan dengan Allah (hablumminallah) dan hubungan sesama manusia (hablumminannas).

Secara fitrahnya, manusia tidak boleh hidup keseorangan , seperti mana Adam a.s yang minta dijadikan teman iaitu Hawa meskipun telah dilimpahi dengan pelbagai kenikmatan dan kesenangan di syurga. Kita saling memerlukan antara satu sama lain dan saling bergantungan untuk meneruskan survival kehidupan.
Dalam Islam, konteks pergaulan adalah cukup luas dan mencakupi segenap aktiviti harian kita seperti dalam urusan jual beli, kerja,belajar,perubatan,penyaksian di mahkamah dan sebagainya.
Kita digalakkan untuk saling mengenali antara satu-sama lain dan ini amat bertepatan dengan firman Allah SWT di dalam Surah Al-Hujurat : ayat 13 yang berbunyi ;
Wahai umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku puak, supaya kamu berkenal-kenalan (dan beramah mesra antara satu dengan Yang lain). Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang Yang lebih taqwanya di antara kamu, (bukan Yang lebih keturunan atau bangsanya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha mendalam pengetahuannya (akan keadaan dan amalan kamu).

PERGAULAN ANTARA LELAKI DAN WANITA YANG BUKAN MUHRIM

Sekiranya pergaulan itu berasaskan kepada tujuan mendesak ataupun keperluan, maka ianya dibolehkan. Walau bagaimanapun, dalam masa yang sama, perlu menjaga batas-batas pergaulan sebagaimana yang telah digariskan Islam.
Pandangan yang diberikan oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi  di dalam Fatawa Muasyirah, Jilid 2 menyebutkan :
”Pada prinsipnya, perhubungan di antara lelaki dna wanita tidaklah ditolak secara total, malahan dibolehkan selagi mana ia bermatlamatkan kebaikan dan atas perkara-perkara yang dibenarkan syarak.. Dan wajib patuhi kehendak dan ajaran Islam serta prihatin tentang akhlak dan adab”.

TATACARA/ ETIKA PERGAULAN MENURUT ISLAM

Sekali lagi ditegaskan, meskipun Islam mengharuskan pergaulan, tetapi ia bukanlah satu kebebasan mutlak namun masih dalam ruang lingkup dan batasan tertentu.
Terdapat beberapa tatacara yang mesti dijaga dalam pergaulan, khususnya antara lelaki dan wanita.


a) Menundukkan pandangan
Katakanlah (Wahai Muhammad) kepada orang-orang lelaki Yang beriman supaya mereka menyekat pandangan mereka (daripada memandang Yang haram), dan memelihara kehormatan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka; Sesungguhnya Allah amat mendalam pengetahuannya tentang apa Yang mereka kerjakan. (An-Nuur : ayat 30)
Tidak melihat aurat / memandang dengan pandangan syahwat / bukan pandangan yang liar.
Pandangan pertama dimaafkan, namun jangan pula disusuli dengan pandangan kedua dan ketiga kerana ianya haram.
b) Menjaga aurat dan kehormatan
Dan Katakanlah kepada perempuan-perempuan Yang beriman supaya menyekat pandangan mereka (daripada memandang Yang haram), dan memelihara kehormatan mereka; dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka kecuali Yang zahir daripadanya; dan hendaklah mereka menutup belahan leher bajunya Dengan tudung kepala mereka; dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka melainkan kepada suami mereka, atau bapa mereka atau bapa mertua mereka atau anak-anak mereka, atau anak-anak tiri mereka, atau saudara-saudara mereka, atau anak bagi saudara-saudara mereka Yang lelaki, atau anak bagi saudara-saudara mereka Yang perempuan, atau perempuan-perempuan Islam, atau hamba-hamba mereka, atau orang gaji dari orang-orang lelaki Yang telah tua dan tidak berkeinginan kepada perempuan, atau kanak-kanak Yang belum mengerti lagi tentang aurat perempuan; dan janganlah mereka menghentakkan kaki untuk diketahui orang akan apa Yang tersembunyi dari perhiasan mereka; dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Wahai orang-orang Yang beriman, supaya kamu berjaya. (An-Nuur : ayat 31)
Batasan aurat bersama bukan mahram (ajnabi)
i. Lelaki – antara pusat ke lutut
ii. Wanita – seluruh badan kecuali muka dan tapak tangan
Berpakaian sopan menurut syarak, iaitu tidak nipis sehingga menampakkan warna kulit,  tidak ketat sehingga menampakkan bentuk badan dan tudung dilabuhkan melebihi paras dada. Tidak salah berfesyen asalakan menepati standard piawaian pakaian Islam.
Hayati pemakaian kita di dalam solat. Sebagaimana kita berpakaian sempurna semasa mengadap Allah, mengapa tidak kita praktikkan dalam kehidupan di luar? Sekiranya mampu, bermakna solat yang didirikan berkesan dan berupaya mencegah kita daripada melakukan perbuatan keji dan mungkar.
Elakkan daripada memakai pakaian yang tidak menggambarkan identiti kita sebagai seorang Islam. Hadith Nabi SAW menyebutkan :
” Barangsiapa yang memakai pakaian menjolok mata, maka Allah akan memberikan pakaian kehinaan di hari akhirat kelak..” ( Riwayat Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai dan Ibnu Majah)

c) Tidak berdua-duaan antara lelaki dan wanita
Tidak berdua-duaan seorang lelakid an wanita melainkan akan hadir di antara keduanya yang ketiga iaitu iblis.
Pertemuan perlulah di tempat awam bukan di kawasan yang tersorok daripada pandangan ramai. Ini penting bagi mengelakkan fitnah dan menghindarkan daripada terpedaya dengan hasutan syaitan supaya melakukan perkara-perkara maksiat.
Hadith Nabi menyarankan :
” Janganlah seorang lelaki berdua-duaan (berkhalwat) dengan wanita kecuali bersama mahramnya (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Mahram yang dibawa perlulah individu yang sudah berakal, baligh dan berupaya mencegah kita daripada melakukan kemungkaran.
d) Tidak melunakkan ucapan dan mengucapkan kata-kata yang baik


Wahai isteri-isteri Nabi, kamu semua bukanlah seperti mana-mana perempuan Yang lain kalau kamu tetap bertaqwa. oleh itu janganlah kamu berkata-kata Dengan lembut manja (semasa bercakap Dengan lelaki asing) kerana Yang demikian boleh menimbulkan keinginan orang Yang ada penyakit Dalam hatinya (menaruh tujuan buruk kepada kamu), dan sebaliknya berkatalah Dengan kata-kata Yang baik (sesuai dan sopan).
(Al-Ahzaab : 32)

Elak perkataan merayu,menggoda ,merangsang keinginan,keji,lucah mahupun perkatan sia-sia/gurauan berlebihan
Lunakkan suara berbeza dengan merendahkan suara . Lunak diharamkan, manakala merendahkan suara adalah dituntut. Merendahkan suara bermakna kita berkata-kata dengan suara yang lembut, tidak keras, tidak meninggi diri, sopan  dan sesuai didengar oleh orang lain. Ini amat bertepatan dan sesuai dengan nasihat Luqman AL-Hakim kepada anaknya yang berbunyi :
“Dan sederhanakanlah langkahmu semasa berjalan, juga rendahkanlah suaramu (semasa berkata-kata), Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keldai” (Surah Luqman : ayat 19)

e) Tidak bersentuhan antara lelaki dan wanita bukan muhrim
Hadith Nabi SAW :


”Sesungguhnya kepala yang ditusuk besi itu lebih baik daripada menyentuh kaum yang bukan sejenis yang tidak halal baginya.” (Riwayat At-Tabrani dan Baihaqi)
Selain itu, dari Aishah :”Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun saat membait.” (Riwayat Bukhari)

Elakkan bersentuhan, berpegangan, bergesel, bertepuk-tampar dan sebagainya.
f) Tidak mengenakan wangi-wangian atau perhiasan-perhiasan yang boleh menarik perhatian
Hadith Nabi menyebutkan :
”Siapa sahaja wanita yang memakai wangian kemudian melewati suatu kaum supaya mereka mencium banunya, maka wanita itu telah dianggap melakukan zina..” (Nasa’i, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
g) Mengawal pergerakan badan
”..dan janganlah mereka menghentakkan kaki untuk diketahui orang apa yang tersembunyi dari perhiasan mereka..” (An-Nuur :31)

Elakkan dari melakukan gerakan manja atau gerakan yang boleh menarik perhatian orang lain. Bersederhana dalam pergaulan dan jaga adab dan tertib sebagai seorang Islam.
h) Pertemuan hendaklah pada perkara benar-benar perlu, tidak melampau atau kerap
Perlu ada batasan dan limitasi, tidak terlalu bebas.


TIPS-TIPS PERGAULAN YANG CEMERLANG UNTUK DIPRAKTIKKAN
Tips yang mungkin bermanfaat untuk dikongsikan dalam amalan pergaulan supaya disenangi adalah :
a) Bersangka baik – elakkan bersangka buruk kerana ia menhjadi punca permusuhan

b) Murah dengan senyuman – tidak memerlukan modal dan dari aspek kesihatan, kajian mendapati kita hanya menggunakan 17 otot muka sewaktu senyum berbanding 43 otot sewaktu mengerutkan dahi (rahsia awet muda)

c) Lahirkan simpati dan empati – turut berdukacita dengan musibah yang menimpa kawan-kawan dan cuba meletakkan diri di tempat mereka.
d) Sebarkan salam – tidak terbatas kepada orang yangdikenali sahja tetapi kepada semua

e) Pamerkan kasih sayang – saling membantu, mengambil berat dsb

f) Latih diri ingat nama kawan  -  insan lain akan merasa dihargai

g) Hormati pandangan pihak lain – sekalipun tidak bersetuju, cuba raikan atau bangkang dengan cara yang penuh berhikmah

h) Minta maaf dan sedia memaafkan – meminta maaf dan mengakui kesalahan tidak akan menjadikan diri kita hina malah kita menjadi lebih mulia. Bersedia memaafkan orang lain pada bila-bila masa sahaja. Siapa kita untuk tidak memaafkan kesalahan orang lain sedangkan Allah itu maha Pemaaf (Al’Afuwwu) dan Nabi juga sentiasa memafkan kesalahan umatnya.

i) Doakan kebahagiaan sahabat dan doakan semoga persahabatan dipelihara Allah – antara amalan doa yang boleh diamalkan adalah Doa Rabitah (di dalam Al-Ma’thurat).  Ketika membaca doa tersebut, bayangkan wajah  insan-insan yang disayangi, mudah-mudahan Allah akan sentiasa mempertautkan hati antara kita.



KESIMPULAN
a) Bergaullah dengan cara yang baik dan mengikut batasan syarak kerana apa yang dianjurkan Islam adalah untuk maslahah atau kebaikan kita juga.
b) Ikhtilat yang diharamkan seperti bercouple, berdating,bersentuhan dan sebagainya wajar dihindari.
c) Sekiranya kita menjaga Allah, Allah akan menjaga dan memelihara diri kita.
d) Pilih kawan yang baik (Manusia itu mengikut agama kawannya)